Gunung Sindoro

Dengan viewnya yang menawan Gunung Sumbing

Gunung Merbabu

Dengan viewnya yang 'epic' tegaklah Gunung Merapi, Sang Merapi terlalu aktifnya dirimu begitu mengkhawatirkan setiap insan, di sisi lain engkau juga selalu dirindukan

Golden Sunrise Gunung Merbabu

Suasana syahdu dengan view sunrise yang menawan membuat selalu rindu kembali ke Gunung ini melewati jalur Selo

Gunung Slamet, Gunung tertinggi di Jawa Tengah

Gunung dengan view kota Purwokerto, Cilacap dll. Tampak di ujung sana laut biru dengan langit yang biru pula.

Ranu Kumbolo, Gunung Semeru

Danau di ketinggian 2.400 mdpl (meter di atas permukaan laut) yang selalu jadi incaran para pendaki Semeru. Sunrise di antara dua bukit yang selalu membuat rindu ingin balik kesana.

Selasa, 26 Mei 2015

[EARTH DAY] Jika tidak bisa menjadi PECINTA yang baik, janganlah menjadi PERUSAK yang handal. (Bersih Gunung dan Pembagian Trashbag Gn. Merbabu via Wekas) #GunungBukanTempatSampah

Sampah POS 2 (Camping Ground) Merbabu via Wekas
#Latepost (karena Blog ini baru saya buat :p)


Ketika mendapatkan kiriman gambar dari seorang teman di Instagram seperti ini, saya langsung berpikiran "katanya cinta sama alam, tapi kok bisa gitu sampah numpuk di mana-mana? AhSudahlah skip jangan dipikirin langsung aja caw besok ke lokasi" dalam hati saya.

Saya tanya dulu, pasti sobat Vertikal berkeinginan naik Gunung untuk melihat suasana nyaman, bersih, udara segar, ketenangan, dll bukan?


Apa yang sobat rasakan apabila pada saat menelusuri Trek pendakian melihat sampah yang bertumpuk di Gunung? sudah pasti kita akan merasa tidak nyaman saat di Gunung tersebut, sebab dari awal ekspektasi suasana bersih, nyaman cuma kita dapatkan di alam bukan?

tetapi kalau sudah begini? Apa sobat tidak merasa tergugah untuk membawa turun sampah-sampah tersebut?

Kami bukan manusia suci yang tidak pernah melakukan hal-hal buruk di gunung, kamipun pernah khilaf, tetapi selalu ada perubahan dalam hidup kita. Membawa kantong sampah memang sangat merepotkan sobat, namun jika bukan kita para PENDAKI yang menjaga kebersihan di gunung siapa lagi?

Karena kami merasa tergugah saya dan teman-teman saya (@Palarejo) dan sebagian ada yang belum saya kenal tetapi akhirnya akrab (anak @CamcerID komen2an di Instagram) yang merasa tergugah hatinya melihat sampah bertumpuk, akhirnya kami semua berangkat menuju TKP (Gunung Merbabu via Wekas) *ceileh bahasanya tergugah :p

Kronologinya seperti ini:
Jam 1 siang hari Jum'at bergegas saya setelah pulang Jum'atan prepare lalu langsung ke kontrakan teman saya si Dika karena sumber foto itu saya dapatkan dari dia, dan dia juga yang mulai mengajak saya untuk melihat tkp, ternyata dia sudah mengajak teman saya satu lagi, yaitu si Pandu.
Yah.. biasa teman saya camping ceria anak dua ini. *skip

Setelah prepare kami langsung ke kontrakan Bang Panji (anak CamcerID) kami di sana prepare bareng-bareng, kira-kira setelah prepare selesai jam setengah 5 kami berangkat dari Jogja. Di sana kami dapat tambahan 6 orang (termasuk bang Panji) yaitu Mbak Ajeng, Bang Panji, Dayat, Deny, Bang Amek, dan Omek.  

Narsis dulu sebelum berangkat haha (korban anak jaman sekarang)


Narsis dulu lah :D


Setelah melewati perjalanan tanpa istirahat dengan jalan terjal berbatu menuju basecamp *gayane haha
Akhirnya sampailah kami di basecamp wekas yang terkenal dengan nasi sayur tahunya yang maknyus sayang saya tidak sempat foto karena batre hp lowbatt haha *virus path biasalah
Kami tiba di basecamp kira-kira jam setengah 9.
Disana kami makan setelah itu sholat di jamak Isya' sama Maghrib yang kelewat karena kami masih di jalan. Setelah itu kami prepare lalu strectching tidak lupa langsung berdoa dan cuss berangkat.

Dijalan warga kami sudah disuguhi trek menanjak motor perlu pake gigi setengah mungkin biar bisa sampe naik ke atas *lebay
nafas mulai ngos-ngosan karena sambil ngerokok haha, walaupun yang pertama minta berenti mbak Ajeng sih karena mungkin udah lama ndak naik jadi kaget dikit perlu 'pemanasan mesin' *eh dengkul.

Setelah melewati rumah-rumah warga kami melewati makam dan terus jalan dengan pelan karena memang trek tidak ada bonus sama sekali, jalur wekas memang terkenal ekstrem dengan tanjakan yang tiada henti tetapi dengan begitu kalau ingin ke puncak Gn. Merbabu bisa lebih cepat dari pada jalur lainnya, tapi tujuan kami dari awal bukan puncak sih, cuma sampe pos 2 (camping ground) aja.

Jarak antara basecamp dan pos 1 lumayan jauh untungnya ada Deny yang bawa speaker portable untuk menghilangkan sunyi, sepi dan senyap, jadi ya kami menikmati saja musiknya Deny dari speaker portable yang dia bawa, kadang lagunya enak kadang lagunya bikin ngantuk hahaha, belum sampai pos 1 ternyata speaker portablenya kehabisan batrai suaranya jadi ngelantur dan bikin ngakak anak-anak. Akhirnya kami istirahat sejenak sambil membetulkan speakernya Deny ternyata memang batrenya yang habis dan dia tidak membawa cadangan batre, jadi terpaksa sudah kami bersunyi-sunyi ria, hanya oceh-ocehan ngelantur sambil berjalan saja yang bisa jadi hiburan, lumayan lah.

Setelah sampai di pos 1 kami bertemu banyak sekali pendaki, sepertinya anak-anak SMA karena ada pemandunya, mereka istirahat cukup lama katanya di sana. Kami cuma istirahat minum, sambil rokok sebatang lalu langsung cuss, karena kalau sudah beristirahat cukup lama membuat malas untuk melanjutkan perjalanan, sepengalaman saya sih begitu *gaya kalilah abang ni :p

Lanjut saja, kami menulusuri tanjakan yang banyak kami temui pipa air warga jadi sebenarnya kalau kita naik Gn. Merbabu melewati jalur Wekas ini, kita tidak akan kesulitan air, karena Mata Air banyak di jalur ini, eitss tapi jangan coba-coba mecah pipa warga ya? mata air yang saya bilang, walapun di dalam pipa itu pasti ada air tetapi akibat yang dirasakan warga jadi tidak dapat pasokan air dari atas, kejadian seperti ini pernah terjadi, jadi entah siapa orang yang tidak bertanggung jawab memecahkan pipa di jalur wekas ini, entah karena tidak sengaja atau karena kehabisan air saya tidak tahu pasti. *skip wae

Akhirnya kira-kira jam setengah 1 dini hari kami sampai di pos 2 (camping ground) a.k.a TKP. Karena situasi yang dingin dan badan sudah capek karena malamnya saya begadang tidak tidur, berangkat juga dadakan jadi kami semua memutuskan langsung menegakkan tenda lalu masak air untuk minum kopi sambil nge-teh pokoknya malam itu istirahat full dulu lalu langsung tidur.

Paginya setelah bangun kami langsung melihat tkp, eng-ing-eng ternyata sampah sudah dibakar warga guys.
TKP Sampah bertebaran


Padahal sudah ada himbauan "Bawa Turun Sampahmu" tetapi malah di corat-coret dan tak di hiraukan
macem pos bayangan :(



Tetapi tetap saja sampah di jalur dan di dekat tenda yang dibangun para pendaki tidak bertanggung jawab sampahnya di mana-mana. Dalam hati berkata "Ya, Alhamdulillah kalo sampahnya udah kurang, jadi tinggal bawa sampah yang ada di deket-deket pendaki yang diriin tenda sambil bagiin trashbag yg udah kami siapin dari awal buat bawa sampah." 
Ntah ada berapa puluh trashbag yang kami bawa, akhirnya karena sampah tidak terlalu banyak kami bagikan ke para pendaki di sana trashbag tersebut, sambil mengambil sampah yang ada didekat mereka maksudnya sih untuk menyindir mereka (kalau sadar) haha :p

Walaupun sedikit mudah-mudahan yang lain jadi sadar

Akhirnya setiap orang dari kami mendapatkan penuh 1 trashbag yg berisi sampah, "lumayan juga" dalam hatiku. Kalau sempat belum dibakar warga sampah-sampah tersebut apa jadinya kami bawa berapa trashbag? ._.

Intinya kami bersyukur sajalah, setelah bersih-bersih kami masak-masak camping ceria lalu makan bareng di bawah pohon yang sejuk, tetapi setelah makan ternyata turun kabut tebal lalu tidak lama dari itu rintik hujan mulai turun dan semakin deras, kami langsung melipir menyelamatkan diri ke doom masing-masing agar tidak basah. 

Setelah hujan agak reda kami mulai hunting spot foto yang bagus di mana (lagi-lagi korban anak jaman sekarang) :(

*SKIP END*
"Pendaki Gunung, sahabat alam sejati.
Jaketmu penuh lambang, lambang kegagahan memploklamirkan dirimu *pecinta alam*
Ketika aku daki dari gunung ke gunung
22 April 2015 / EarthDay (Hari Bumi Internasional)
Sebagian foto-foto asal jepret, foto ngambilin sampah ga ada karena semua pada ngambilin sampah,


sementara maknanya belum kau miliki
Di sana kutemui kejanggalan makna
Banyak pepohonan merintih kepedihan
Dikuliti pisaumu yang tak pernah diam
Batu-batu cadas merintih kesakitan ditikam belatimu yang bermata ayal
hanya untuk mengumumkan pada khalayak bahwa di sana ada kibar benderamu
Oh alam, korban keangkuhan
Maafkan mereka yang tak mengerti arti kehidupan."



jadi gak ada yang mau ngambil foto. Yang ada cuma foto narsis bawa trashbag sudah berisi sebelum turun sore harinya:







































Gunung Merbabu dengan pesona 7 Puncaknya

Golden Sunrise Gunung Merbabu (Lokasi: Sabana 1 [via Selo])

Merbabu sebuah gunung yang bersebelahan dengan Gunung Merapi. Gunung Merbabu memiliki 7 puncak yang dikagumi para penggiat alam bebas. Gunung yang terletak di 3 kabupaten; Semarang, Boyolali, dan Magelang menjadi favorit para pendaki gunung, karena memiliki jalur pendakian yang beragam dengan berbagai tingkat kesulitan. Ada 4 jalur resmi pendakian yang familiar dikalangan pendaki, yakni; Thekelan, Selo, Cuntel dan Wekas. 4 jalur dengan jarak dan tingkat kesulitan berbeda akan bertemu di puncak utama dengan ketinggian 3142mdpl. Dengan status sebagai kawasan Taman Nasional, memberikan nilai tambah sebagai lokasi kunjungan yang wajib disambang para Pendaki Gunung.

Pukul 13.45, langkah pertama dari sebuah Base Camp di Dusun Kesingan dan biasa disebut sebagai Base Camp Wekas. Berjalan melewati jalan berpaving di tengah-tengah dusun dengan tegur sapa hangat penduduknya. Alasan mengambil rute lewat jalur Wekas, karena jalur terpendek untuk sampai di Puncak Merbabu, dengan panjang rute sekitar 4,54km. Jalur setapak dengan mengikut alur pipa air yang dipasang penduduk, dengan medan yang tidak terjal dan cukup landai bisa dijadikan rujukan untuk para pemula. Hutan yang rimbun melindungi dari terik matahari, sehingga tidak begitu menguras tenaga berlebih. Sepajang jalur pendakian ada instalasi air, sehingga ketersediaan air cukup aman, sebab bisa diambil dari bak-bak penampungan atau rembesan dari pipa yang bocor.

Pukul 15.56 tak terasa pendakian sudah sampai di sebuah pelataran yang luas dan biasa digunakan para pendaki untuk mendirikan tenda. Air yang tersedia ditempat tersebut cukup melimpah, sehingga menjadi lokasi favorit pendaki untuk membangun kemah. Pepohonan yang mengelilingi juga memberikan perlindungan dari hembusan angin dan paparan sinar matahari. Sejenak beristirahat sambil memandang puncak-puncak Merbabu yang jelas terlihat dari lokasi ini. Puncak Watu tulis dengan pemancar yang menjulang, Puncak Kukusan yang berada di tengah lembah, serta Puncak Syarif dan Kenteng Songo yang berdiri berdampingan. Setelah lelah terobati, maka kaki melangkah dari tempat dengan ketinggian 2531mdpl.



Kembali berjalan dan kali ini dengan rute yang menanjak untuk menuju pertemuan dengan jalur Cuntel dan Tekelan. Jalan setapak dengan dinaungi pepohonan yang rimbun membuat perjalanan terasa sejuk. Jalan tanah kini sudah berganti bebatuan yang menandakan segera samapi di pertemuan jalur. Matahari semakin condong ke barat dan tepat berdiri sejajar dengan Gunung Sumbing dan Sindoro. Langkah kaki berhenti disebuah pertigaan jalur dan sejenak beristirahat sambil menyaksikan matahari terbenam. Arloji menunjukan angka 17:21 yang merupakan saat dimana Sang Surya mulai menidurkan dirinya di ufuk barat. Cahaya kekemasan dari sisi barat dengan Siluet Sindoro Sumbing memberikan keindahan menjelang waktu senja. Sang Surya akhirnya terbenam dan menandakan harus segera mencari tempat untuk beristirahat.

Malam telah tiba, dan tenda berdiri disebuah pelataran yang cukup untuk menampung 4-6 tenda. Para pendaki biasa menyebut tempat tersebut sebagai Helipad, atau landasan Helikopter. Dalam tenda yang hangat, diselingi aktivitas menyiapkan menu makan malam. Memasak adalah salah satu moment yang ditunggu, sambil mengelilingi perapian dari kompor berbahan bakar alkohol. Secangkir teh hangat, sepiring nasi goreng dan beberapa camilan, menu sederhana namun terasa mewah saat dihidangkan diketinggan hampir 3000mdpl. Santap malam bersama rekan-rekan pendaki, sambil diiringi canda tawa telah mengusir rasa lapar, dahaga dan lelah setelah setengah hari berjalan mendaki.




Malam semakin larut, bintang mulai bersinar dan tak kalah dengan lampu-lampu dibawah sana yang gemerlapan. Temaram cahaya bulan, menerangi malam yang dingin dan hembusan
Merbabu sebuah gunung yang bersebelahan dengan Gunung Merapi. Gunung Merbabu memiliki 7 puncak yang dikagumi para penggiat alam bebas. Gunung yang terletak di 3 kabupaten; Semarang, Boyolali, dan Magelang menjadi favorit para pendaki gunung, karena memiliki jalur pendakian yang beragam dengan berbagai tingkat kesulitan. Ada 4 jalur resmi pendakian yang familiar dikalangan pendaki, yakni; Thekelan, Selo, Cuntel dan Wekas. 4 jalur dengan jarak dan tingkat kesulitan berbeda akan bertemu di puncak utama dengan ketinggian 3142mdpl. Dengan status sebagai kawasan Taman Nasional, memberikan nilai tambah sebagai lokasi kunjungan yang wajib disambang para Pendaki Gunung.

Pukul 13.45, langkah pertama dari sebuah Base Camp di Dusun Kesingan dan biasa disebut sebagai Base Camp Wekas. Berjalan melewati jalan berpaving di tengah-tengah dusun dengan tegur sapa hangat penduduknya. Alasan mengambil rute lewat jalur Wekas, karena jalur terpendek untuk sampai di Puncak Merbabu, dengan panjang rute sekitar 4,54km. Jalur setapak dengan mengikut alur pipa air yang dipasang penduduk, dengan medan yang tidak terjal dan cukup landai bisa dijadikan rujukan untuk para pemula. Hutan yang rimbun melindungi dari terik matahari, sehingga tidak begitu menguras tenaga berlebih. Sepajang jalur pendakian ada instalasi air, sehingga ketersediaan air cukup aman, sebab bisa diambil dari bak-bak penampungan atau rembesan dari pipa yang bocor.

Pukul 15.56 tak terasa pendakian sudah sampai di sebuah pelataran yang luas dan biasa digunakan para pendaki untuk mendirikan tenda. Air yang tersedia ditempat tersebut cukup melimpah, sehingga menjadi lokasi favorit pendaki untuk membangun kemah. Pepohonan yang mengelilingi juga memberikan perlindungan dari hembusan angin dan paparan sinar matahari. Sejenak beristirahat sambil memandang puncak-puncak Merbabu yang jelas terlihat dari lokasi ini. Puncak Watu tulis dengan pemancar yang menjulang, Puncak Kukusan yang berada di tengah lembah, serta Puncak Syarif dan Kenteng Songo yang berdiri berdampingan. Setelah lelah terobati, maka kaki melangkah dari tempat dengan ketinggian 2531mdpl.



Kembali berjalan dan kali ini dengan rute yang menanjak untuk menuju pertemuan dengan jalur Cuntel dan Tekelan. Jalan setapak dengan dinaungi pepohonan yang rimbun membuat perjalanan terasa sejuk. Jalan tanah kini sudah berganti bebatuan yang menandakan segera samapi di pertemuan jalur. Matahari semakin condong ke barat dan tepat berdiri sejajar dengan Gunung Sumbing dan Sindoro. Langkah kaki berhenti disebuah pertigaan jalur dan sejenak beristirahat sambil menyaksikan matahari terbenam. Arloji menunjukan angka 17:21 yang merupakan saat dimana Sang Surya mulai menidurkan dirinya di ufuk barat. Cahaya kekemasan dari sisi barat dengan Siluet Sindoro Sumbing memberikan keindahan menjelang waktu senja. Sang Surya akhirnya terbenam dan menandakan harus segera mencari tempat untuk beristirahat.

Malam telah tiba, dan tenda berdiri disebuah pelataran yang cukup untuk menampung 4-6 tenda. Para pendaki biasa menyebut tempat tersebut sebagai Helipad, atau landasan Helikopter. Dalam tenda yang hangat, diselingi aktivitas menyiapkan menu makan malam. Memasak adalah salah satu moment yang ditunggu, sambil mengelilingi perapian dari kompor berbahan bakar alkohol. Secangkir teh hangat, sepiring nasi goreng dan beberapa camilan, menu sederhana namun terasa mewah saat dihidangkan diketinggan hampir 3000mdpl. Santap malam bersama rekan-rekan pendaki, sambil diiringi canda tawa telah mengusir rasa lapar, dahaga dan lelah setelah setengah hari berjalan mendaki.



Malam semakin larut, bintang mulai bersinar dan tak kalah dengan lampu-lampu dibawah sana yang gemerlapan. Temaram cahaya bulan, menerangi malam yang dingin dan hembusan angin yang membekukan suasana. Cahaya hangat dari dalam tenda, seberkas sinar dari pancaran headlamp, gemerlap cahaya lampu kota dan nan jauh disana bintang ribuan tahun cahaya menghiasi angkasa menemani rembulan yang bersinar. Saatnya istirahat, setelah semua barang dikemas dan diberesi agar esok pagi siap untuk dipergunakan. Malam yang dingin, namun terasa hangat dalam naungan tenda dan berbelutkan kantung tidur beralaskan matras yang empuk. Alam mimpi menjemput dan saatnya tubuh beristirahat untuk persiapan perjuangan mendaki puncak keesok harinya.

Pukul 04.00 alarm dari ponsel membangunkan dari lelapnya tidur. Sebuah suasana dimana harus memaksakan diri keluar dari ruang kenyamanan untuk menuju siksaan alam dalam bekunya udara pagi. Sholat subuh dengan air wudhu seadanya. Setelah sholat, Mendidihkan air untuk segelas susu hangat dan memanaskan penggorengan untuk menghanguskan lembaran roti tawar yang dilapisi dengan cokelat susu sebagai modal awal pendakian. Pukul 05.00 semua persiapan beres dan siap untuk memburu puncak sebelum didahului Sang Surya. Jaket dengan lapisan penahan angin, headlamp selalu siaga untuk memberikan penerangan dan sepatu treking untuk menjaga keamanan kaki disaat melangkah.

Jembatan Setan, begitu pendaki menyebut sebuah tanjakan didepan mata yang nampak curam. Dengan perlahan tubuh merambat disebuah bukit yang memanjang dengan sisi kanan kiri jurang yang menganga. Embub pagi yang membasahi tubuh seolah tidak menghalangi kaki untuk terus melangkah menuju puncak. Jalur semakin menyempit dan panjang nampak seolah berjalan di punggung sapi, sehingga lokasi ini dinamakan “Geger Sapi”. Berjalan terus dengan jalur yang semakin terjal, dan kali ini langkah kaki harus berhenti dipertigaan. jalur yang kekiri menuju Puncak Syarif dan yang kanan menuju Puncak Kenteng Songo.



Keputusan harus segera diambil, maka Puncak Syarif menjadi tujuan pertama. Hanya berjalan sekitar 5 menit, maka sampai lah disebuah puncak dengan ketinggian 3119mdpl. Puncak yang dinamakan Syarif, konon ada seorang yang bernama Syarif melarikan diri dari Belanda pada jaman penjajahan dahulu dan bersembunyi dipuncak Gunung. Cerita pelarian Syarif yang melegenda, sehingga namanya diabadikan sebagai salah satu Puncak di Gunung Merbabu. Sejenak menikmati keindahan matahari terbit dari puncak disisi selatan Merbabu.

Perjalana dilanjutan, dan saatnya menuju puncak yang tertinggi di Gunung Merbabu. Melewati sebuah punggungan yang panjang dan sebuah tanjakan yang sangat terjal yang diberi naman “Ondo Rante”, maka sampailah di Puncak Kenteng Songo. Sebuah puncak yang namanya dihubungkan dengan adanya batu kenteng yang berjumlah sembilan. Sebuah batu bulat dengan lobang ditengahnya, menjadi penanda puncak Kenteng Songo. Sangat disayangkan, sebuah simbol alam harus menjadi korban tangan jahil dengan coretan, dan pengrusakan batu yang dianggap keramat tersebut.



Belum lengkap jika belum menginjakan kaki dipuncak sejati Gunung Merbebu dengan ketinggian 3142mdpl. Hanya 3 menit berjalan, maka sampailah di puncak tertinggi Gunung Merbabu. Dari tempat ini, seolah berdiri ditengah-tengan Jawa Tengah. Disisi Selatan berdiri megah Gunung Merapi yang angker, disisi barat Sindoro Sumbing berdiri kokoh, disisi utara Gunung Andong, Telomoyo, Ungaran dan Muria nampak jelas, dan sisi timur nampak samar Puncak Hargo Dumilah Gunung Lawu. Seluruh permukaan Gunung Merbabu, terlihat jelas dari segala penjuru disaat mata memandang seluas-luasnya.

Perjalanan belum usai, dan saatnya kembali turun menuju kemah dasar. kali ini perjalanan pulang dengan mengambil rute Thekelan, karena ingin menyaksikan eksotisme Watu Gubug dan Pereng Putih. Jalur Thekelan merupakan jalur yang tertua, sebab dahulu menjadi jalur utama pendakian. Dari puncak hingga sampai di Helipad sekitar 1 jam perjalanan. Setelah semua peralatan pendakian dikemasi, maka perjalanan turun dimulai. Tujuan pertama adalah Gunung Watu Tulis, yaitu sebuah puncak di sisi Utara. Puncak dengan adanya sebuah bangunan permananen yang digunakan sebagai pemancar relay radio Militer. Cukup disayangkan, fasilitas pertahanan harus kembali berurusan dengan tangan jahil. Solar panel sudah raib diambil pencuri, dinding penuh dengan aksi vandalisme, dan kawat berduri sudah mudah untuk diterobos.

Dari pemancar ini, ada pertemuan jalur, dimana arah kekiri menuju Jalur Cuntel d an yang kanan menuju Thekelan. Jalan curam menurun, dan setelah 20 menit berjalan akan ditemukan sebuah batu besar yang diberi nama “Watu Gubug”. Watu Gubug, bisa dijadikan sebagai tempat perlindungan dari cuaca badai dan tempat ini disakralkan penduduk setempat. Dari watu Gubug ada 5 jalur yang siap untuk dipilih yaitu; jalur tembus menuju jalur cuntel, jalur Thekelan dengan rute; jalur utama, kalur alternatif, jalur baru dan jalur lama yang kesemuanya menuju pos 2. Waktu tempuh menuju pos 2 sekitar 30 menit perjalanan.

Dari Pos 2 menuju pos 1 sekitar 20 perjalanan dengan melewati hutan yang cukup lebat. Di Pos 1 jalan mulai terbuka, karena jalur melipir tebing yang diberi nama “Pereng Putih” atau tebing putih. Tebing tinggi dengan warna putih akibat lumut kerak, mampu memantulkan suara disaat ada teriakan dari pendaki yang iseng mencoba gema. Dari Pos 1 perjalan dilanjutkan menuju Pos Pending lalu menuju Base Camp Thekelan. Selesai sudah perjalan 2 hari 1 malam untuk menyambangi puncak Merbabu dan menyaksikan matahari terbenam dan terbit. Mencapai puncak gunung adalah tujuan pendakian, tetapi akan lebih lengkap jika kembali turun dengan keadaan selamat. angin yang membekukan suasana. Cahaya hangat dari dalam tenda, seberkas sinar dari pancaran headlamp, gemerlap cahaya lampu kota dan nan jauh disana bintang ribuan tahun cahaya menghiasi angkasa menemani rembulan yang bersinar. Saatnya istirahat, setelah semua barang dikemas dan diberesi agar esok pagi siap untuk dipergunakan. Malam yang dingin, namun terasa hangat dalam naungan tenda dan berbelutkan kantung tidur beralaskan matras yang empuk. Alam mimpi menjemput dan saatnya tubuh beristirahat untuk persiapan perjuangan mendaki puncak keesok harinya.

Pukul 04.00 alarm dari ponsel membangunkan dari lelapnya tidur. Sebuah suasana dimana harus memaksakan diri keluar dari ruang kenyamanan untuk menuju siksaan alam dalam bekunya udara pagi. Sholat subuh dengan air wudhu seadanya. Setelah sholat, Mendidihkan air untuk segelas susu hangat dan memanaskan penggorengan untuk menghanguskan lembaran roti tawar yang dilapisi dengan cokelat susu sebagai modal awal pendakian. Pukul 05.00 semua persiapan beres dan siap untuk memburu puncak sebelum didahului Sang Surya. Jaket dengan lapisan penahan angin, headlamp selalu siaga untuk memberikan penerangan dan sepatu treking untuk menjaga keamanan kaki disaat melangkah.

Jembatan Setan, begitu pendaki menyebut sebuah tanjakan didepan mata yang nampak curam. Dengan perlahan tubuh merambat disebuah bukit yang memanjang dengan sisi kanan kiri jurang yang menganga. Embub pagi yang membasahi tubuh seolah tidak menghalangi kaki untuk terus melangkah menuju puncak. Jalur semakin menyempit dan panjang nampak seolah berjalan di punggung sapi, sehingga lokasi ini dinamakan “Geger Sapi”. Berjalan terus dengan jalur yang semakin terjal, dan kali ini langkah kaki harus berhenti dipertigaan. jalur yang kekiri menuju Puncak Syarif dan yang kanan menuju Puncak Kenteng Songo.




Keputusan harus segera diambil, maka Puncak Syarif menjadi tujuan pertama. Hanya berjalan sekitar 5 menit, maka sampai lah disebuah puncak dengan ketinggian 3119mdpl. Puncak yang dinamakan Syarif, konon ada seorang yang bernama Syarif melarikan diri dari Belanda pada jaman penjajahan dahulu dan bersembunyi dipuncak Gunung. Cerita pelarian Syarif yang melegenda, sehingga namanya diabadikan sebagai salah satu Puncak di Gunung Merbabu. Sejenak menikmati keindahan matahari terbit dari puncak disisi selatan Merbabu.

Perjalana dilanjutan, dan saatnya menuju puncak yang tertinggi di Gunung Merbabu. Melewati sebuah punggungan yang panjang dan sebuah tanjakan yang sangat terjal yang diberi naman “Ondo Rante”, maka sampailah di Puncak Kenteng Songo. Sebuah puncak yang namanya dihubungkan dengan adanya batu kenteng yang berjumlah sembilan. Sebuah batu bulat dengan lobang ditengahnya, menjadi penanda puncak Kenteng Songo. Sangat disayangkan, sebuah simbol alam harus menjadi korban tangan jahil dengan coretan, dan pengrusakan batu yang dianggap keramat tersebut.



Belum lengkap jika belum menginjakan kaki dipuncak sejati Gunung Merbebu dengan ketinggian 3142mdpl. Hanya 3 menit berjalan, maka sampailah di puncak tertinggi Gunung Merbabu. Dari tempat ini, seolah berdiri ditengah-tengan Jawa Tengah. Disisi Selatan berdiri megah Gunung Merapi yang angker, disisi barat Sindoro Sumbing berdiri kokoh, disisi utara Gunung Andong, Telomoyo, Ungaran dan Muria nampak jelas, dan sisi timur nampak samar Puncak Hargo Dumilah Gunung Lawu. Seluruh permukaan Gunung Merbabu, terlihat jelas dari segala penjuru disaat mata memandang seluas-luasnya.

Perjalanan belum usai, dan saatnya kembali turun menuju kemah dasar. kali ini perjalanan pulang dengan mengambil rute Thekelan, karena ingin menyaksikan eksotisme Watu Gubug dan Pereng Putih. Jalur Thekelan merupakan jalur yang tertua, sebab dahulu menjadi jalur utama pendakian. Dari puncak hingga sampai di Helipad sekitar 1 jam perjalanan. Setelah semua peralatan pendakian dikemasi, maka perjalanan turun dimulai. Tujuan pertama adalah Gunung Watu Tulis, yaitu sebuah puncak di sisi Utara. Puncak dengan adanya sebuah bangunan permananen yang digunakan sebagai pemancar relay radio Militer. Cukup disayangkan, fasilitas pertahanan harus kembali berurusan dengan tangan jahil. Solar panel sudah raib diambil pencuri, dinding penuh dengan aksi vandalisme, dan kawat berduri sudah mudah untuk diterobos.

Dari pemancar ini, ada pertemuan jalur, dimana arah kekiri menuju Jalur Cuntel d an yang kanan menuju Thekelan. Jalan curam menurun, dan setelah 20 menit berjalan akan ditemukan sebuah batu besar yang diberi nama “Watu Gubug”. Watu Gubug, bisa dijadikan sebagai tempat perlindungan dari cuaca badai dan tempat ini disakralkan penduduk setempat. Dari watu Gubug ada 5 jalur yang siap untuk dipilih yaitu; jalur tembus menuju jalur cuntel, jalur Thekelan dengan rute; jalur utama, kalur alternatif, jalur baru dan jalur lama yang kesemuanya menuju pos 2. Waktu tempuh menuju pos 2 sekitar 30 menit perjalanan.

Dari Pos 2 menuju pos 1 sekitar 20 perjalanan dengan melewati hutan yang cukup lebat. Di Pos 1 jalan mulai terbuka, karena jalur melipir tebing yang diberi nama “Pereng Putih” atau tebing putih. Tebing tinggi dengan warna putih akibat lumut kerak, mampu memantulkan suara disaat ada teriakan dari pendaki yang iseng mencoba gema. Dari Pos 1 perjalan dilanjutkan menuju Pos Pending lalu menuju Base Camp Thekelan. Selesai sudah perjalan 2 hari 1 malam untuk menyambangi puncak Merbabu dan menyaksikan matahari terbenam dan terbit. Mencapai puncak gunung adalah tujuan pendakian, tetapi akan lebih lengkap jika kembali turun dengan keadaan selamat.


Sebagian Foto-foto lainnya [via Selo]:

(Click to Resize image)


(Click to Resize image)




(Click to Resize image)


(Click to Resize image)


(Click to Resize image)


(Click to Resize image)
(Click to Resize image)


(Click to Resize image)